Thursday, December 1, 2011

Salah Kaprah Terapi Herbal

1. Obat medis adalah obat kimia, sedangkan herbal bukan kimia.
Memang istilah ini hanyalah sekadar istilah untuk memudahkan penyebutan dan pengelompokan. Tapi sebenarnya baik obat medis maupun herbal semuanya adalah bahan kimia. Karena semua zat yang ada di alam semesta ini tersusun atas unsur-unsur kimia. Bahkan air ludah yang ada di mulut kita dan kita ‘emut’ layaknya permen sehari-hari itupun merupakan bahan kimia. Mungkin kalau mau menggunakan istilah yang lebih mendekati benar (tidak seratus persen benar) adalah: obat medis merupakan kimia sintetis, sedangkan herbal adalah kimia alami. Namun semuanya merupakan bahan kimia.

2. Obat medis selalu memiliki efek samping dan tidak aman, sedangkan herbal tumbuhan alami bebas efek samping dan aman.
Istilah ini memberi kesan bahwa obat medis berbahaya dan tidaka aman dikonsumsi karena selalu memberikan efek samping yang merusak, sedangkan herbal aman dan tidak bahaya karena tanpa efek samping. Istilah ini dipakai tanpa dasar dan mengabaikan banyak fakta. Herbal walaupun alami, bukannya tanpa efek samping. Bahkan tidak selalu aman.
Bahan tumbuhan pun ada juga yang berbahaya bahkan beracun. Semua tahu bahwa makanan binatang Koala adalah daun eucaliptus yang jika dimakan manusia hampir bisa dipastikan wasalam. Dan satu lagi bahan herbal tumbuhan alami untuk sedikit ngobok-obok pemahaman rancu ini adalah daun ganja, dan daun koka. Bagi yang rajin nyimeng pasti kenal dengan daun ganja. tentu saja ini bukan bahan kimia, namun herbala alami. Namun sekali nyedhot sak sledupan, bisa mbikin melayang-layang. Sedangkan daun koka adalah bahan pembuat kokain yang bahayanya sudah disepakati baik tabib herbal maupun ahli medis, bahkan oleh Kang Panjul yang awam sekalipun.

3. Kesalahan dalam penggolongan bahan herbal.
Di dalam sebuah iklan produk herbal di satu majalah Islam yang terbit secara Nasional (saya tak etis kalau menyebut merk dan nama majalahnya), disebutkan dengan nada agak gegap gempita :
MENGHADIRKAN HERBAL TERBAIK KELAS DUNIA !!!

Setelah menyebutkan kata “Herbal Terbaik Kelas Dunia” ini disebutkanlah bahan yang dimaksud, yakni : Gamat…..!?!? Gamat itu apa. Disitu disebutkan Gamat adalah: Binatang invertebrata pemakan makan organik yang hidup di dasar laut.Tak beda jauh dengan satu iklan di satu website, bahkan di sebagian website terkenal (kalau pingin tahu, tanya mbah google dengan keyword Gamat Bahan Herbal), disebutkan bahwa Gamat nama lainnya adalah Teripang atau Mentimun laut, dan dimasukkan ke dalam golongan herbal.
Mungkin karena nama lainnya Mentimun laut, maka ada yang memasukkannya ke dalam bahan herbal. Padahal kata herbal sendiri maknanya tumbuhan, bukannya binatang.

4. Jika sudah memakai herbal, tak perlu obat kimia.
Pernyataan ini harus dilihat per kasus. Jika memang herbalnya memang berfungsi terapi dan itulah herbal of choice untuk kasus penyakitnya, ya silakan saja.
Namun jika fungsi herbal disitu adalah sebagai suplemen atau terapi pendukung, maka penggunaan obat sintetis kimia masih merupakan drug of choice yang harus tetap dipakai. Sehingga terapi herbal dan medis kimia seyogyanya ditempatkan sebagai komplemen yang saling melengkapi, dan bukannya substistusi dimana yang satu “harus” menggantikan yang lain.

5. Testimoni yang tidak cerdas.
Hampir semua penggunaan herbal mengandalkan ujung tombak testimoni sebagai pendukung utama promosinya. Namun seyogyanya sebuah testimoni yang mengungkapkan keberhasilan terapi herbal haruslah dengan bahasa yang cerdas. Syarat testimoni yang cerdas di antaranya sebagai berikut :

1. Diagnosa penyakit yang disebutkan haruslah tegak dengan penegakkan diagnosa yang benar dan obyektif.
Misalnya : didukung dengan pemeriksaan yang menyebutkan angka-angka yang terukur dari pemeriksaan laboratorium, atau jika itu diagnosa kelainan organ dalam haruslah didukung alat pemeriksaan dalam. Semisal : ronsen, endoskopi atau USG dsb.

2. Pengakuan diagnosa berdasar perkataan, “Menurut dokter, sakit saya adalah…” tidaklah mencukupi.
Mengapa tidak mencukupi? Karena dalam mendiagnosa satu penyakit, pernyataan dokter akan satu diagnosa diawali dengan satu diagnosa yang derajatnya masih merupakan “kemungkinan”. Kemungkinan itulah yang nantinya dibuktikan dengan pemeriksaan pendukung dari lab maupun alat bukti pendukung lainnya. dan bahasa yang dipakai dokter pun jelas.

3. Jika ingin menunjukkan bahwa bahan herbalnya yang berkhasiat, jangan melaporkan testimoni yang ternyata pemakaiannya dikombinasi dengan obat kimia sintetis.
Kalau ingin mengatakan bahan herbal dari pengobatan alternatip itu yang lebih berkhasiat, seharusnya obat dari dokter dihentikan. Lalu ambil jeda beberapa hari, barulah dikonsumsi herbalnya dan ditunggu khasiatnya. Hal ini akan menghasilkan testimoni yang baik dan bisa dipakai untuk modal penelitian lebih lanjut dari bahan herbal yang bersangkutan.

4. Kesembuhan harus terukur secara obyektif juga.
Jika penegakan diagnosa harus terukur, demikian juga manakala mengaku sudah sembuh. Kesembuhan haruslah terukur secara obyektif, bukan kesembuhan subyektif. Jika dengan konsumsi satu bahan herbal seseorang mengaku kankernya sembuh, kesembuhan dari kanker itu bukanlah dilihat secara subyektif saja. Haruslah ada satu tindakan biopsi ataupun scan ataupun pemeriksaan obyektif yang menyatakan bahwa kankernya sudah tak berbahaya lagi.

Saran saya, kalau ada ramuan kok ditutup-tutupi dan berkesan eksklusif dan rahasia harusnya kita makin curiga. Sayangnya kita hanya bersikap begitu pada obat-obat kimia sintetis saja. Padahal justru obat kimia sintetis sedang tertib-tertibnya menuliskan kandungan senyawa aktip di kemasannya. Sedangkan kalau bahan herbal kita permisif. Nggak ditulis apa isinya gak masalah. Akhirnya ada saja bajingan tengik yang memanfaatkan sisi gelap kebodohan konsumen herbal ini yang lantas mencampur bahan obat kimia sintetis ke dalam bahan herbal atau jamu. Ini karena saking permisifnya konsumen dengan apa yang namanya bahan alami sehingga gak mau tau bahan apa yang dikopyok di dalamnya.

No comments:

Post a Comment