Rabies merupakan salah satu penyakit infeksi pada manusia yang paling lama dikenal. Istilah rabies sudah dikenal sejak zaman Babilonia pada abad ke-23 SM dan Democritus menulis secara jelas tentang hewan yang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan tentang rabies pada manusia dengan gejala hidrofobia dibuat oleh Celsus pada abad pertama dan gejala klinis mengenai rabies ditulis secara jelas oleh dokter Italia bernama Fracastoro pada abad ke-16. Pada tahun 1880 Louis Pasteur mendemonstrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat, sedangkan virus rabies sendiri baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron tahun 1960.
Walaupun telah tersedia vaksin rabies yang efektif dan aman bagi manusia dan hewan sehingga rabies dapat dicegah (vaccine-preventable disease), sampai saat ini rabies masih menjadi masalah kesehatan penting di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Latin mengingat ketersediaan vaksin dan imunoglobulin yang terbatas dan relatif mahal; sebagian besar pasien meninggal tanpa penanganan memadai. Boleh dikatakan rabies merupakan penyakit zoonosis mematikan yang terabaikan (neglected zoonotic disease). Tanggal 28 September telah ditetapkan oleh WHO sebagai hari rabies sedunia (World Rabies Day).
EPIDEMIOLOGI
Rabies ditemukan pada hampir semua negara di dunia, kecuali Australia, Inggris, sebagian besar Skandinavia, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Selandia Baru, Brunai, Jepang, Taiwan. Jumlah kematian karena rabies di seluruh dunia diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun dan terbanyak di negara Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eurasia. Negara endemis rabies antara lain India, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, China, Filipina, Thailand, Indonesia, Meksiko, Brasilia, Amerika Serikat dan Amerika Tengah. Negara dengan kejadian rabies tertinggi di dunia adalah India dengan 30.000 kasus kematian per tahun atau 3 : 100.000 penduduk. (1990 - 2002) kurang lebih 60 % dari kematian karena rabies diseluruh dunia.
Dari tahun 2004 sampai 2007 dilaporkan berturut-turut 1.308, 889, 1.708, 1.396 kasus gigitan hewan tersangka rabies di Indonesia. Kejadian sesungguhnya mungkin lebih besar karena sebagian pasien meninggal di rumah tanpa terdiagnosis. Di Provinsi Kalimantan Timur dari tahun 2001 sampai 2006 tercatat 15 kasus kematian karena rabies (data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur).
Di Indonesia hewan penggigit yang paling banyak adalah anjing (90 %), kucing (6 %), monyet dan lain-lain (4 %). Penelitian di India menunjukkan hewan penggigit adalah anjing (96,2 %), kucing (1,7 %), hewan lain (2,1 %).2 Di Brazilia hewan penggigit terbanyak adalah serigala, anjing, kucing dan kelelawar.12 Pada bulan Juli - September 2005 dilaporkan 6 kematian karena rabies yang disebabkan oleh gigitan kelelawar vampir (Desmodus rotundus) di daerah pedesaan Alto Turi, Provinsi Maranhao, Brazilia; di daerah ini gigitan kelelawar vampir sering terjadi (3,9 % populasi atau lebih dari 900 orang selama tahun 2004). Harijanto dari Sulawesi Utara mendapatkan bahwa kasus
rabies paling banyak terjadi karena gigitan anjing di ekstremitas bawah. Penelitian di India yang mencakup lebih dari 9.000 kasusselama 10 tahun menunjukkan lokasi gigitan terbanyak adalah ekstremitas bawah (56,2 %), ekstremitas atas (20,9 %) dan tangan (17,0 %), lokasi lain adalah kepala/ leher (11,5 %), badan (1,7 %), lain-lain (2,1 %).
PATOGENESIS
Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan, sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka, leher 30 hari; gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari; gigitan di tungkai, kaki, jari kaki 60 hari. Penelitian epidemiologis di India menunjukkanpada gigitan di ekstremitas bawah masa inkubasi 15 - 545 hari (rata-rata 75 hari), sedangkan gigitan pada tangan 8 - 360 hari (rata-rata 60 hari), gigitan pada badan rata-rata 45 hari, dan gigitan pada kepala/wajah 12 - 180 hari (rata-rata 22 hari).
Masa inkubasi kebanyakan 31 - 90 hari (53,2 %), 15 - 30 hari (17,9 %), 91 - 180 hari (14,0 %), masa inkubasi antara 0 - 14 hari 5,1 %, 181 - 365 hari 5,1 %, lebih dari 1 tahun 4,7 %. Data menunjukkan 85 % kasus masa inkubasinya antara 2 minggu sampai 6 bulan. Penelitian lain di Bangalore, India menunjukkan 95 % kasus masa inkubasinya < 6 bulan.
Penyebaran virus secara sentripetal melalui endoneurium sel Schwann dan aliran aksoplasma, mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60 - 72 jam. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/ jam menuju SSP (otak dan medula spinalis) melalui cairan serebrospinal. Di otak virus memperbanyak diri di semua neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen, saraf volunteer maupun saraf otonom, selanjutnya mencapai otot skeletal, otot jantung, medula adrenal, ginjal, mata, pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi, urin dan air susu.
MANIFESTASI KLINIS
Dibagi menjadi 4 stadia: stadium 1 prodromal tidak khas; stadium 2 seperti ensefalitis akut; stadium 3 ensefalitis rabies; stadium 4 kematian. Stadium prodromal berlangsung 1 - 4 hari, ditandai demam, nyeri kepala, malaise, nyeri otot, lelah, anoreksia, mual, muntah, nyeri tenggorok, batuk. Bila disertai parestesi dan fasikulasi di tempat inokulasi virus, harus dicurigai infeksi rabies.
Sensasi ini ditemukan pada 50-80 % pasien, berhubungan dengan multiplikasi virus di jaringan saraf ganglion dorsalis. Pada stadium 2 terjadi gejala neurologis akut khas furious (buas) bila mengenai midbrain dan medula spinalis atau sebagian kecil paralitik (atipikal) bila mengenai medula spinalis saja. Kasus paralitik dilaporkan dari Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Di India diperkirakan 20 % kasus rabies bermanifestasi paralitik.
Tipe paralitik ditandai kelemahan umum, parestesi, demam, kesulitan menelan dan sesak napas, tanpa agitasi. Pada bentuk furious, pasien menjadi hiperaktif, halusinasi, agitasi, menggigit, diselingi periode tenang. Timbul bermacam-macam fobia karena rangsang luar seperti hidrofobia (khas untuk rabies), aerofobia, fotofobia.
Pada stadium 3 timbul gangguan fungsi SSP ditandai diplopia, hipersalivasi, gangguan menelan, gerakan involunter, fluktuasi suhu tubuh, dan dapat terjadi orgasme spontan. Selain itu didapatkan gejala otonomik seperti hipertermi, takikardi, hipertensi, hipersalivasi. Meskipun sering kejang, pasien biasanya tetap sadar. Gejala eksitasi dapat berlanjut sampai pasien meninggal. Kematian
pada stadium ini terjadi karena gagal napas akibat kontraksi hebat otot-otot pernapasan atau keterlibatan pusat pernapasan dan henti jantung akibat stimulasi nervus vagus. Apabila pasien tidak meninggal pada stadium ini, pasien akan masuk stadium paralisis yang ditandai demam, nyeri kepala, paralisis ekstremitas yang digigit, mungkin difus atau simetris atau dapat menyebar asendens seperti sindrom Guillain Barre, kaku kuduk, kesadaran menurun, disorientasi, stupor dan akhirnya koma.
Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah gejala rabies tampak, berlangsung beberapa jam sampai berbulan-bulan dan akhirnya meninggal karena kelumpuhan otot pernapasan. Pada stadium koma dapat terjadi berbagai komplikasi seperti peningkatan tekanan intrakranial, kelainan hipotalamus berupa diabetes insipidus dan SAHAD, hipertensi atau hipotensi, hipertemi atau hipotermi, rabdomiolisis, apnea, aritmia, henti jantung.
Penelitian di India menunjukkan hidrofobia pada 95,7 % pasien, aerofobia 66,4 %, fotofobia 33,2 % dan paralisis 21,3 %. Suatu keadaan menyerupai rabies adalah rabies histerik yaitu reaksi psikologis orang-orang yang kontak dengan hewan atau pasien yang diduga mengidap rabies. Orang rabies histerik akan menolak minum air (pseudohidrofobia) sedangkan pasien rabies sering merasa haus dan pada awalnya menerima air dan minum, namun terjadi spasme laring.
Kriteria diagnosis rabies (WHO) adalah kasus suspek (berdasarkan gambaran klinis saja), kasus probable (kasus suspek plus riwayat kontak dengan hewan pengidap rabies), kasus confirmed Pemeriksaan penunjang: isolasi virus dari saliva, apusan tenggorok, trakea, kornea, cairan serebrospinal, urin; deteksi RNA virus melalui reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR);
deteksi neutralizing antibody dalam serum pasien yang tidak divaksinasi; pemeriksaan indirect fluorescent antibody test, rapid fluorescent focus inhibition test (RFFIT) untuk deteksi antibodi spesifik (di Amerika Serikat sebagai tes standard, hasilnya dapat diperoleh dalam 48 jam); pemeriksaan fluorescent antibody test (FAT) untuk identifikasi antigen virus rabies di jaringan otak, cairan serebrospinal, urin; pemeriksaan histopatologis untuk mendapatkan negri bodies, suatu badan asidofilik berbentuk bulat dengan butir-butir basofilik di dalamnya, di jaringan otak (positif pada 71 - 90 % pasien rabies).
Rabies harus dipikirkan pada semua pasien dengan gejala neurologis dan psikiatris akut atau gejala laringofaringeal yang tidak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang digigit hewan di daerah endemis rabies.
Diagnosis banding rabies antara lain ensefalitis virus herpes, enterovirus, arbovirus (misal virus West Nile, Japanese encephalitis), virus Nipah. Rabies paralitik harus dibedakan dari sindrom Guillain Barre, poliomielitis, ensefalitis virus, ensefalitis postvaksinasi. Ensefalitis post-vaksinasi biasanya karena pemberian VAR generasi lama yaitu nerve tissue vaccine (1 : 200 - 1 : 1600)
yang sejak tahun 2005 tidak diproduksi lagi.
PENATALAKSANAAN
Penanganan meliputi isolasi pasien untuk menghindari rangsangan yang menimbulkan spasme otot dan mencegah pe-nularan; penanganan luka dengan pencucian, desinfeksi, debridement, pemberian tetanus toksoid atau tetanus imunoglobulin serta antibiotik; pemberian vaksin anti rabies (VAR) dan atau serum anti rabies (SAR); terapi simptomatik dan suportif seperti pemberian sedatif, analgetik, antikonvulsan; terapi terhadap komplikasi respirasi dan kardiovaskuler seperti pemasangan ventilator, defibrilasi. Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak dengan hewan
pengidap rabies, kecuali kontak hanya jilatan pada kulit utuh. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture vaccine, suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human diploid cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964 dengan nama dagang Imovax®, purified vero cell
rabies vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985 dengan nama Verorab®, purified chick embryo cell vaccine (PCEC) dengan nama Rabipur® yang mulai dipasarkan tahun 1985. Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brain vaccine (SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine (DEV), suatu non-nerve tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan komplikasi ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis. Namun demikian nerve tissue vaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa negara Asia. WHO merekomendasikan pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen), sedangkan Depkes RI menganjurkan pemberian tiga kali pada hari 0, 7, 21 (regimen zagreb).8,21
Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen Thai Red Cross Intradermal (TRC-ID), dengan pemberian 0,1 ml intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90.22 Jika sudah mendapat vaksin rabies dalam 5 tahun terakhir, bila digigit anjing tersangka rabies, vaksin diberikan hanya 2 dosis yaitu hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. VAR dapat diberikan pada ibu hamil atau bayi. SAR diberikan pada orang dengan luka gigitan multipel, luka lebar dan dalam,
jilatan pada mukosa, luka di leher dan kepala, jari tangan atau kaki, atau di genitalia. Human rabies immune globulin (BayRab®, Imogam®) diberikan dengan dosis tunggal 20 IU/ kgBB : setengah dosis infiltrasi daerah sekitar luka dan setengah dosis intramuskuler di tempat yang berlainan dengan suntikan VAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama VAR.
Pemberian VAR maupun SAR dapat menimbulkan efek samping ringan lokal maupun sistemik seperti nyeri, eritema, edema tempat suntikan, demam, nyeri kepala, mual, nyeri otot, nyeri sendi. Pada pemberian HDCV gejala seperti sindrom Guillain Barre sangat jarang terjadi, sedangkan ensefalomielitis tidak
pernah dilaporkan lagi pada pemberian PVRV.1 Reaksi anafilaksis sangat jarang.
Dalam dekade terakhir ini tidak ada perkembangan yang berarti dalam penanganan infeksi rabies. Jackson dkk menuliskan perlunya penanganan rabies secara lebih agresif dengan pemberian VAR, SAR, ribavirin, interferon alfa dan ketamin.
PROGNOSIS
Kematian karena rabies boleh dikatakan 100 % bila virus sudah mencapai sistem saraf. Dari tahun 1875 sampai 1972 dilaporkan 10 pasien sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 sampai sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup.
Berbagai penelitian dari tahun 1986 sampai 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing rabies yang segera mendapat VAR dan SAR menunjukkan angka survival 100 %. Data dari India yang dikumpulkan dari 22 rumah sakit di 18 negara bagian selama tahun 1992 - 2002 (> 9000 kasus rabies), menunjukkan hanya 20,9 % pasien mendapat VAR dan hanya 1,3 % mendapat SAR, 40,5 % pasien tidak mendapatkan terapi sama sekali; hanya 55,8 % pasien yang sempat dirawat di rumah sakit dan 50,6 % pasien dilaporkan meninggal di rumah. Data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur selama tahun 2001 - 2006 menunjukkan 1.617 kasus gigitan anjing yang dilaporkan dan 855 (52,9 %) pasien mendapat VAR.
PENCEGAHAN
Diperlukan kontrol terhadap hewan pengidap rabies dan anjing liar, vaksinasi hewan peliharaan yang berpotensi terkena rabies, vaksinasi profilaksis (pre-exposure immunization) pada individu berisiko tinggi terpapar virus rabies seperti dokter hewan, pekerja di kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang, petugas laboratorium penelitian yang bekerja dengan virus rabies dan wisatawan ke daerah endemis rabies seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka.
Beberapa penelitian menunjukkan risiko rabies karena gigitan anjing di daerah endemis 1- 3,6 : 1000 wisatawan/ bulan. Vaksinasi profilaksis diberikan secara intramuskuler (0,5 ml) pada hari 0, 7 dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.
Dosis VAR pada anak sama dengan orang dewasa. Pada wanita hamil dan menyusui sebaiknya vaksinasi profilaksis ditunda. Efektifitas vaksin dilaporkan mencapai 100 %. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah pencucian luka secara benar dan pemberian segera VAR dan SAR pada pasien yang mengalami gigitan hewan pengidap rabies karena bila virus sudah mencapai sistem saraf kematian mencapai 100 %.